Selasa, 04 Mei 2010

Pangeran Santri

Sekembalinya Raden Ontowiryo ke Jogjakarta beliau melihat keadaan yang amat berbeda dengan pendidikan yang beliau terima di Pesantren Berangkal. Orang-orang kafir Belanda begitu bebas di Keraton, karena mereka memang amat akrab dengan punggawa Keraton Jogja yang di bawahi oleh Patih Danurejo.

Darah Raden Ontowiryo terasa mendidih melihat kemaksiatan didepan matanya, bahkan yang melakukan bukan saja bangsa Belanda tapi para punggawa keraton juga telah banyak yang ikut-ikutan minum-minuman keras dan bermain perempuan berjudi dan lain-lain kemaksiatan yang bagi Raden Ontowiryo melihat kemaksiatan itu harus di rubah dengan tangan, tapi beberapa kejadian konflik dengan mereka semakin memposisikan pangeran Ontowiryo digelari sebagai Pangeran Santri.

Hal tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal konflik antara Pangeran Diponegoro dengan gerombolannya Patih Danurejo yang di belakangnya adalah Kumpeni Belanda. Jadi bukanlah sekedar masalah tanah yang di serobot untuk jalan atau bahkan tanah makam yang akan dibangun oleh Belanda untuk menbuat jalan.

Setelah konflik semakin menegang. kemudian Pangeran Diponegoro mengirim utusan untuk meminta fatwa dari gurunya di Berangkal sebelah barat Bagelen (Kebumen-sekarang) setelah penghinaan dan pelecehan terhadap Islam yang dilakukan oleh pengikut Patih Danurejo yang dari pada sebagai Patih dia lebih pantas sebagai antek kafir Kumpeni Belanda, maka di bolehkan melawan bila telah terjadi penyerangan oleh mereka..

Meletuslah perang Diponegoro, dan fatwa Perang Sabil, atau Jihad Fi Sabilillah di kumandangkan bersiaplah seluruh laskar Santri (Thaliban) di seantaro pulau Jawa selatan dari Jawa Timur sampai perbatasan Jawa Barat.